Jumat, 11 Maret 2011

Anggaran Berbasis Kinerja

ANGGARAN BERBASIS KINERJA

Bergulirnya reformasi di Indonesia membawa angin segar dan harapan baru serta memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Manifestasi dari perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket kebijakan yang dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah atau dikenal juda UU Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 dan diubah kegua kalinya dengan UU No 12 Tahun 2008 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 33 tahun 2004.  Kebijakan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pengelolaan keuangan ini menuntut pula perubahan mindset dan culture set para birokrat. Perbaikan kerangka hukum desentralisasi dan pemerintahan daerah menuntut sikap baru dari para pelaksana pemerintahan. (USAID, 2006).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan (Hadi Sasana: 2006). .Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah ini merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (task assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal merupakan perubahan penting yang ditetapkan berdasarkan UU no 22 Tahun 1999. (Syahruddin:2006). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan pada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya, dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling menonjol dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Fisher dalam Hadi Sasana:2004).
Untuk menindaklanjuti kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang meliputi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini wujud dari pada reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara yang mengedepankan keterbukaan (transparansi), peningkatan efisiensi (efisiensi), tanggung jawab yang lebih jelas (responsibility), kewajaran (fairness), yang selama ini terabaikan dalam prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Negara. Dalam operasional penyusunan anggarannya melalui pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) dan Penerapan Anggaran Terpadu (Unified Budget). Pada tahun 2005, mengambil langkah kebijakan perubahan format belanja negara. Perubahan dimaksud adalah dengan menjalankan sistem penganggaran yang terpadu (unified budget) yaitu dengan menyatukan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. (Deniey Adi Purwanto: 2006).

Dengan pemberlakuan peraturan –perundang-undangan yang melandasi penerapan paradigma baru pengelolaan keuangan Negara dan sumber-sumber input ini, diharapkan tujuan dari pada desentralisasi fiscal dapat tercapai yaitu efisien dalam penggunaan sumber dan lebih efektif dalam pencapaian sasaran pembangunan. Dikatakan oleh   Musgrave (1959), Oates (1972) Loehr dan Manasan (2004) dalam Akhmad Syakir Kurnia (2006), bahwa salah satu tujuan dilakukannya desentralisasi fiskal adalah tercapainya efisiensi alokasi sumber daya yang semakin tinggi.

Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan dalam upaya mewujudkan berbagai tujuan termasuk untuk pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan anggaan dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Dengan diterapkannya anggaran berbasis kinerja, maka prestasi setiap daerah dalam pengelolaan keuangannya seharusnya bukan hanya ditekankan pada kemampuan daerah dalam menggali potensi sumber-sumber pendapatan daerah saja, namun yang juga tidak kalah pentingnya  adalah terakselerasinya pencapaian sasaran-sasaran pembangunan. (Akhmad Syakir Kurnia: 2006).

Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran (output) dan hasil (Outcome) yang diharapkan termasuk efisisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja yang dituangkan dalam dokumen Renstra yang dijabarkan setiap tahunnya dalam Rencana Kinerja Tahunan dan Penetapan Kinerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai, dituangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan.

Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrument kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan (Renja/RKT SKPD ) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja. Dalam sistem anggaran berbasis kinerja ini, target kinerja harus dijabarkan dengan indikator kinerja utama/ indikator kinerja kunci (Key Performa Indicator) yang terukur (measurable).
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja adalah :
1) Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya.
2) Pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prestasinya.

Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan dalam manajemen perencanaan, pemrograman, penganggaran dan evaluasi. Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1) Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2) Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3) Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,
waktu dan orang).
4) Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5) Keinginan yang kuat untuk berhasil

Penerapan anggaran berbasis kinerja mendekatkan pada tercapainya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi penggunaan sumber daya serta efektifitas pencapaian sasaran strategis dan optimalisasi pencapaian hasil-hasil indikator pembangunan makro, karena dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, tidak terlepas dari akuntabilitas penyusunan perencanaan baik RPJMD, Renstra maupun Rencana Kinerja Tahunan yang telah disusun dengan target kinerja yang terukur, memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, keadilan, daya tanggap, sarana dan prasarana, produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas serta persamaan pelayanan.


Kamis, 27 Januari 2011

TAHAPAN INISIATIF ELECTRONIC GOVERNMENT DI MICHIGAN

TUGAS
MATA KULIAH : E- GOVERNMENT
DOSEN : Dr. ALI ROKMAN, M.Si
OLEH
ENI SOSIATMAN
NIM. P2FB 09057
TAHAPAN INISIATIF ELECTRONIC GOVERNMENT DI MICHIGAN



TAHAPAN INISIATIF E-GOVERNMENT DI MICHIGAN
PENDAHULUAN
Electronic Government mengandung arti bahwa bagaimana pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media teknologi, terutama internet, untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang sebagai “ customer” nya.
Melihat besarnya ruang lingkup pelayanan publik dan lebarnya spektrum jenis pelayanan yang ada, maka sangat baik jika e-Government dikembangkan oleh suatu pemerintahan.
Washtenaw Country membagi e-Government menjadi tiga tahapan besar yaitu : e- Informations, e- Commerce, dan e- Democracy ( Kinney, 2001 ). Ketiga klasifikasi inisiatif ini sekaligus merupakan tiga fase besar pembangunan e-Government yang masing-masi
ng membutuhkan proses dan perjalanan panjang.



 e-Informations        e-Commerce       e-Democracy



TIGA TAHAP INISIATIF
Konsep e-Informations terkait dengan bagaimana agar seluruh stakholder pemerintah, terutama yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat, dapat menyediakan informasi yang dapat diakses secara cepat dan tepat melalui berbagai kanal akses. Program pengembangan aplikasi e-Government dalam tahap ini biasanya dimulai dengan membangun website yang berisi informasi mengenai berbagai hal yang dibutuhkan. Pada aplikasi yang lebih kompleks, biasanya website tersebut telah menjadi sebuah portal pengetahuan ( knowledge portal ) yang di dalamnya tidak sekedar informasi yang dibutuhkan masyarakat, namun lebih jauh lagi berisi berbagai pengetahuan penting yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.
Tahap e-Commerce, di mana konsep pelayanan sudah melibatkan sejumlah proses transaksi pertukaran barang dan / atau jasa. Masyarakat yang selama ini harus datang ke kantor-kantor pemerintah untuk proses perijinan dan berbagai pembayaran seperti KTP, SIM, pembayaran PBB, dll. Tetapi saat ini sudah dapat dilakukan dari rumah melalui media internet.
Tahap e-Democracy, yaitu suatu lingkungan yang kondusif bagi pemerintah, wakil rakyat, partai politik dan konstituennya, untuk saling berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkooperatif melalui proses interaksi media internet. Masyarakat dapat menyampaikan penilaian dan pandangannya terhadap kinerja pemerintah dan menyampaikan pendapatnya secara bebas kepada para wakil rakyat secara online dengan menggunakan fasilitas semacam email, mailing list, discusion/forum, chatting, dan poling.
Ketiga fase ini perlu dijalankan prosesnya satu per satu secara sekuensial karena memang satu fase merupakan landasan bagi pembangunan fase berikutnya.


HAL PENTING DAN UTAMA
Banyak kendala yang dialami dalam memulai inisiatif e-Government, tetapi diharapkan dengan e-Government pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya akan lebih baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan e-Government yaitu :
1.      Adanya rencana strategis ( strategic planing ) yang terperinci lengkap dengan tahapan-tahapan pelaksanaan e-Government yang akan dilaksanakan. Rencana strategis ini sering disebut peta perjalanan atau roadmap dari implementasi e-Government.
2.      Adanya keterlibatan seluruh pihak yang terkait dengan permasalahan teknis pelaksanaan. E-Government pada dasarnya merupakan sebuah sistem, di mana seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangannya merupakan komponen dalam sistem tersebut, maka kerja sama efektif antar mereka tidak saja merupakan suatu hal mutlak akan tetapi merupakan critical sucses factor utama yang menentukan sukses tidaknya pengembangan program e-Government.
3.      Perlu diperhatikan berbagai masalah terkait dengan manajemen sistem informasi, karena sangat menentukan suksesnya pelaksanaan e-Governement. Sentralisasi data tidak hanya berhubungan dengan ba
gaimana prosedur pengumpulan data tetapi juga terkait dengan infrastruktur, kapasitas penyimpanan, dan faktor keamanan data.
4.      Dicari jalan agar pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat dapat secara bersama-sama mengatasi kesenjangan digital ( digital gap ) yang dihadapi. Kesenjangan digital adalah isu yang berkaitan deidakseimbangan antara mereka yang memiliki pemahaman, kemampuan, dan kersediaan akses terhadap infrastruktur digital dengan mereka yang sama sekali jangan ketuh dari keberadaan tersebut. E-Government bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap pelayanan pemerintah melalui berbagai teknologi baru, terutama internet.
       Beberapa pihak yang dapat mensosialisasikan penggunaan internet kepada masyarakat sesuai dengan kapasitasnya :
a. Pemerintah, memiliki kepentingan untuk mempersempit jurang kesenjangan digital yang ada di kalangan masyarakat.
b. Industri ( swasta ) pengusaha, terutama mereka yang memiliki produk dan jasa di bidang teknologi informasi.
c. Perguruan Tinggi, merupakan institusi dengan misi utama untuk meningkatkan level edukasi masyarakat.
d. LSM maupun organisasi non pemerintah, yang secara sosial bekerja untuk pengembangan dan perluasan pemakaian teknologi informasi dan internet.
5.      Perlu diperhatikan dan dipertimbangkan secara sungguh-sungguh tentang keamanan data dan privacy masyarakat yang menggunakan internet. Keamanan data merupakan isu yang sangat penting dalam pelaksanaan e-Government. Jika ada data yang jatuh ke orang yang tidak bertanggung jawab maka dapat menimbulkan dampak yang serius.
6.      Perlu dipahami bahwa akan lebih mudah untuk memulai inisiatif e-Government dengan melihat best practice dan/atau melakukan banchmarking dengan pihak-pihak lain yang sudah menjalankan inisiatif ini. Faktor dokumen menjadi sangat penting karena secara internal menjadi sebuah perjalanan yang bisa dikaji kemajuan dan perkembangannya. Untuk memulai langkah bendchmarking, ada baiknya dilihat karakter yang mempunyai kemiripan dari sisi budaya, teknologi, ekonomi dan demografi penduduknya.

RANGKUMAN
        Di era Tekknologi infromasi yang berkembang sangat pesat sekarang ini, e-Government bukan hanya sebuah angan-angan saja, karena keberadaanya sudah nyata terlihat di tengah globalisasi dunia yang sanagat siginfikan. Dengan perencanaan yang matang pemerintah seharusnya mulai memikirkan penerapan e-Government dari mulai tahapan yang paling awal sekalipun, karena bagaimanapun penerapan e-Government akan dapat meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat.



 
ANGGARAN BERBASIS KINERJA

Bergulirnya reformasi di Indonesia membawa angin segar dan harapan baru serta memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Manifestasi dari perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket kebijakan yang dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah atau dikenal juda UU Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 dan diubah kegua kalinya dengan UU No 12 Tahun 2008 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 33 tahun 2004.  Kebijakan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pengelolaan keuangan ini menuntut pula perubahan mindset dan culture set para birokrat. Perbaikan kerangka hukum desentralisasi dan pemerintahan daerah menuntut sikap baru dari para pelaksana pemerintahan. (USAID, 2006).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan (Hadi Sasana: 2006). .Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah ini merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (task assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal merupakan perubahan penting yang ditetapkan berdasarkan UU no 22 Tahun 1999. (Syahruddin:2006). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan pada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya, dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling menonjol dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Fisher dalam Hadi Sasana:2004).
Untuk menindaklanjuti kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang meliputi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini wujud dari pada reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara yang mengedepankan keterbukaan (transparansi), peningkatan efisiensi (efisiensi), tanggung jawab yang lebih jelas (responsibility), kewajaran (fairness), yang selama ini terabaikan dalam prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Negara. Dalam operasional penyusunan anggarannya melalui pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) dan Penerapan Anggaran Terpadu (Unified Budget). Pada tahun 2005, mengambil langkah kebijakan perubahan format belanja negara. Perubahan dimaksud adalah dengan menjalankan sistem penganggaran yang terpadu (unified budget) yaitu dengan menyatukan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. (Deniey Adi Purwanto: 2006).

Dengan pemberlakuan peraturan –perundang-undangan yang melandasi penerapan paradigma baru pengelolaan keuangan Negara dan sumber-sumber input ini, diharapkan tujuan dari pada desentralisasi fiscal dapat tercapai yaitu efisien dalam penggunaan sumber dan lebih efektif dalam pencapaian sasaran pembangunan. Dikatakan oleh   Musgrave (1959), Oates (1972) Loehr dan Manasan (2004) dalam Akhmad Syakir Kurnia (2006), bahwa salah satu tujuan dilakukannya desentralisasi fiskal adalah tercapainya efisiensi alokasi sumber daya yang semakin tinggi.

Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistimatis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan dalam upaya mewujudkan berbagai tujuan termasuk untuk pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan anggaan dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Dengan diterapkannya anggaran berbasis kinerja, maka prestasi setiap daerah dalam pengelolaan keuangannya seharusnya bukan hanya ditekankan pada kemampuan daerah dalam menggali potensi sumber-sumber pendapatan daerah saja, namun yang juga tidak kalah pentingnya  adalah terakselerasinya pencapaian sasaran-sasaran pembangunan. (Akhmad Syakir Kurnia: 2006).

Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran (output) dan hasil (Outcome) yang diharapkan termasuk efisisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja yang dituangkan dalam dokumen Renstra yang dijabarkan setiap tahunnya dalam Rencana Kinerja Tahunan dan Penetapan Kinerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai, dituangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan.

Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrument kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kerja tahunan (Renja/RKT SKPD ) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja. Dalam sistem anggaran berbasis kinerja ini, target kinerja harus dijabarkan dengan indikator kinerja utama/ indikator kinerja kunci (Key Performa Indicator) yang terukur (measurable).
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja adalah :
1) Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya.
2) Pengumpulan informasi yang sistimatis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prestasinya.

Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan dalam manajemen perencanaan, pemrograman, penganggaran dan evaluasi. Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1) Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2) Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3) Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang,
waktu dan orang).
4) Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5) Keinginan yang kuat untuk berhasil

Penerapan anggaran berbasis kinerja mendekatkan pada tercapainya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi penggunaan sumber daya serta efektifitas pencapaian sasaran strategis dan optimalisasi pencapaian hasil-hasil indikator pembangunan makro, karena dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, tidak terlepas dari akuntabilitas penyusunan perencanaan baik RPJMD, Renstra maupun Rencana Kinerja Tahunan yang telah disusun dengan target kinerja yang terukur, memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, keadilan, daya tanggap, sarana dan prasarana, produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas serta persamaan pelayanan.